Berawal dari penemuan kasus AIDS pertamakali di Indonesia
tahun 1987. Dalam kurun waktu 10 tahun sejak AIDS pertama kali
ditemukan, pada akhir 1996 jumlah kasus HIV positif mencapai 381 dan 154
kasus AIDS. Kasus AIDS mendapat respon dari pemerintah setelah seorang
pasien berkebangsaan Belanda meninggal di Rumah Sakit Sanglah Bali.
Kasus ini dilanjutkan dengan pelaporan kasus ke WHO sehinga Indonesia
adalah negara ke 13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS ditahun 1987.
Sebenarnya pada tahun 1985, sudah ada pasien Rumah Sakit Islam Jakarta
yang diduga menderita AIDS. Oleh karena kasus pertama kali ditemukan
pada seorang homoseksual, ada dugaan bahwa pola penyebaran AIDS di
Indonesia serupa dengan di negara-negara lain. Dalam perkembangan
berikutnya, gejala AIDS ini ditemukan pada pasien-pasien yang memiliki
latar belakang sebagai sebagai Pekerja Seks Perempuan (WPS) serta
pelanggannya.
Penyebaran HIV di Indonesia memiliki dua pola setelah masuk pada
tahun 1987 sampai dengan 1996. Pada awalnya hanya muncul pada kelompok
homoseksual. Pada tahun 1990, model penyebarannya melalui hubungan seks
heteroseksual. Prosentase terbesar pengidap HIV AIDS
ditemukan pada kelompok usia produktif (15-49 tahun): 82,9%, sedangkan
kecenderungan cara penularan yang paling banyak adalah melalui hubungan
seksual berisiko (95.7%), yang terbagi dari heteroseksual 62,6% dan pria
homoseksual/biseksual 33,1%. (Stranas 1994). Read More
Jumlah Kumulatif Kasus HIV dan AIDS menurut Faktor Resiko s/d Desember 1996
Periode 1997-2006
Hingga 31 Desember 2006, jumlah kumulatif ODHA yang dilaporkan
mencapai 13.424 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 5.230 kasus HIV dan
8.194 kasus AIDS. Selama 10 tahun, yaitu sejak tahun 1997-2006, jumlah
kematian karena AIDS mencapai 1.871 orang. Jumlah kasus AIDS yang ada
yaitu 8.194 kasus, dapat dibedakan menurut jenis kelamin. Laki-laki
dengan AIDS berjumlah 6.604 (82%), perempuan dengan AIDS berjumlah 1.529
(16%), dan 61 (2%) kasus tidak diketahui jenis kelaminnya.i rasio kasus
AIDS antara laki-laki dengan perempuan aalah 4,3 : 1. Meskipun jumlah
perempuan penderita HIV/AIDS lebih sedikit, dampak pada perempuan akan
selalu lebih besar, baik dalam masalah kesehatan maupun sosial ekonomi.
Perempuan lebih rentan tertular dan lebih menderita akibat infeksi ini.
Beberapa studi menunjukkan
bahwa penularan HIV dari laki-laki ke perempuan melalui hubungan seks
adalah dua kali lipat dibandingkan dari perempuan ke laki-laki.
Penularan pada perempuan akan berlanjut dengan penularan pada bayi pada masa kehamilan. Risiko
penularannya berkisar 15-40%. Selain itu bayi yang lahir dari seorang
ibu dengan HIV mungkin akan terinfeksi HIV sebelum, selama, atau sesudah
proses kelahirannya. Penularan juga dapat terjadi melalui Air Susu Ibu
(ASI). Pelaporan kasus AIDS HIV/AIDS
pada tahun 1997 baru dilakukan oleh 22 propinsi, sedangkan pada tahun
2006 pelaporan kasus HIV/AIDS sudah mencapai 33 propinsi. Yang menarik
adalah distribusi prevalensi kasus AIDS per 100.000 penduduk berdasarkan
propinsi dimana Propinsi Papua menempati urutan pertama (51,45) diikuti
dengan DKI Jakarta (28.15). Hal ini terjadi karena kepadatan penduduk
Propinsi Papua lebih kecil dibanding dengan kepadatan penduduk DKI
Jakarta. Tampak bahwa peningkatan kasus AIDS di Propinsi Papua sangat
tinggi sampai tahun 2006. Selanjutnya, proporsi kasus AIDS terbanyak
dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu sebanyak 54,76%. Disusul
kelompok umur 30-39 tahun sebanyak 27,17% dan kelompok umur 40-49 tahun
sebanyak 7,90%. Dengan demikian, sebagian besar kasus AIDS terjadi pada
kelompok usia produktif yaitu 20-49 tahun. Jumlahnya mencapai 7.369
kasus atau 89,93%.
Mencermati kasus pada periode ini adalah munculnya kasus AIDS pada
bayi atau anak kurang dari 15 tahun. Anak-anak dengan HIV/AIDS
kemungkinan tertular melalui ibunya saat kehamilan, persalinan ataupun
saat pemberian ASI, transfusi darah/komponen darah (misalnya pada
penderita hemofilia) atau akibat pemaksaan seksual oleh orang-orang yang
tidak bertanggungjawab. Selain itu, anak-anak juga mempunyai risiko
besar terinfeksi karena pengetahuan mereka tentang cara penularan dan
melindungi diri dari HIV sangat terbatas. Kasus AIDS menurut cara
penularannya yang dilaporkan sampai dengan 31 Desember 2006, ternyata
paling banyak terjadi melalui penggunaan NAPZA suntik (IDU), disusul
penularan melalui hubungan heteroseksual. Ke-4 cara penularan lainnya
adalah melalui hubungan homoseksual, transfusi darah, transmisi
perinatal, dan penularan lain yang tidak diketahui.
Jumlah Kumulatif Kasus HIV/AIDS menurut Faktor Risiko
Berdasarkan faktor risiko, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia terjadi
karena hubungan seksual berisiko yaitu pada pekerja seks komersial (PSK)
beserta langganannya dan kaum homoseksual. Berdasarkan Data Statistik
Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1997, jumlah kasus AIDS kumulatif
adalah 153 kasus dan HIV positif sebanyak 466 orang yang diperoleh dari
serosurvei di daerah sentinel. Penularan sebesar 70% melalui hubungan
seksual berisiko [i](Tabel 1)i.
Epidemi HIV meningkat secara nyata diantara pekerja seks (PS) pada
tahun 2000. Epidemi ini bervariasi antara satu daerah dengan daerah
lain. Di Tanjung Balai Karimun, Propinsi Riau misalnya, pada tahun
1995/1996 hanya ada 1% PS dengan HIV, sedangkan tahun 2000 menjadi 8,38%
PS dengan HIV. Prevalensi PS dengan HIV di Merauke sebesar 26,5%,
Jakarta Utara sebesar 3,36%, dan di Jawa Barat sebesar 5,5%.iii
Jumlah Kumulatif Penularan
HIV/AIDS karena Perilaku Seksual Berisiko PSK beserta Pasangannya
(Heteroseksual) sampai Desember 2005
Sampai akhir tahun 2005, jumlah kumulatif penularan HIV karena
perilaku seksual berisiko pada PSK beserta langganannya sebanyak 1.920
kasus. Sedangkan, penularan AIDS berjumlah 3.302 kasus pada akhir tahun
2006. Pola penularan HIV/AIDS juga ditemukan pada ibu rumahtangga, yaitu
seorang ibu rumahtangga yang sedang hamil diketahui terinfeksi HIV
karena tertular dari pasangannya. Bayi yang dilahirkan juga positif
terinfeksi HIV. Inilah awal kasus penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi.
Pada tahun 1997, jumlah kumulatif HIV karena transmisi perinatal
sebanyak 3 kasus dan AIDS sebanyak 1 kasus (Tabel 1) i. Di
kelompok ibu hamil, di Propinsi Riau dan Papua, angka kejadian infeksi
HIV sebesar 0,35% dan 0,25% sedangkan di DKI Jakarta sebesar 2,86% iii.
Selanjutnya, pada tahun 1999, ada fenomena baru dalam penularan
HIV/AIDS, yaitu infeksi HIV/AIDS pada pengguna napza suntik (penasun).
Penularan ini sangat cepat terjadi karena penggunaan jarum suntik
bersama. Jumlah penasun dengan HIV yang dirawat di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Jakarta pada tahun 1999 sejumlah 18%,
meningkat menjadi 40% pada tahun 2000, dan 48% pada tahun 2001.
Sedangkan pada tahun 2000, di Kampung Bali di Jakarta ada 90% pengguna
NAPZA suntik yang terinfeksi HIViii. Data dari Pusat
Rehabilitasi Yakita Bogor menunjukkan bahwa jumlah penasun yang
menderita HIV tahun 1999 adalah 14 kasus dan pada tahun 2002 meningkat
menjadi 45 kasus (Grafik 9) iii.
Peningkatan Jumlah HIV karena Penggunaan Napza Suntik di Dua Pusat Rehabilitasi (RSKO dan Yakita Bogor
Fakta bahwa penyebaran HIV terjadi sangat cepat dan mudah disebabkan
oleh penggunaan jarum suntik yang tidak steril secara bergantian oleh
pengguna napza. Perilaku ini bukan hanya menyebarkan HIV tetapi juga
mempercepat penyebaran virus Hepatitis C.
Berdasarkan jenis kelamin, dari 4.118 kasus AIDS di tahun 2006,
terdapat 3.807 kasus IDU pada laki-laki, sedangkan 274 kasus pada
perempuan, dan sisanya 37 kasus tidak diketahui jenis kelaminnyai.
Data menunjukkan bahwa pengguna napza suntik paling banyak adalah pada
usia 20-29 tahun. Jika ditambahkan dengan penasun yang berusia 15-19,
30-39 dan 40-49, maka jumlahh kasus AIDS pada penasun akan semakin
meningkat pada usia produktif. Pengguna Napza suntik terbanyak ada di 5
(lima) propinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatera
Utara.
Penularan HIV melalui jarum suntik justru lebih ‘efisien’ dibanding
jalur seks. Beberapa hal yang dapat mempercepat penularan HIV melalui
jarum suntik diantaranya adalah banyaknya teman yagn menyuntik bersama,
berapa lama menjadi penasun, frekuensi patungan, frekuensi menyuntik
secara bersama, akses untuk mendapatkan jarum bersih, pernah dipenjara
dan menyuntik dipenjara, dan mobilitas pengguna narkoba suntik atau
menyuntik bersama di kota lainv.
Data prevalensi HIV pada waria di tahun 1997-206 sangat terbatas.
Depkes hanya memiliki data dari DKI Jakarta yaitu pada tahun 2002 yaitu
dengan prevalensi sebesar 21,7 . Namun, data dari Integrated
Biological-Behavioral Surveilance (IBBS) mencatat tentang hal ini. Waria
adalah laki-laki yang mengganggap dirinya memiliki identitas sebagai
wanita disebut juga transgender atau transvestities. Penemuan IBBS 2007
adalah tentang waria di 5 (lima) kota yaitu Jakarta, Bandung, Semarang,
Surabaya, dan Malang. Data perilaku diambil dari 5 kota tersebut,
sedangkan data biologi diambil dari tiga kota yaitu (Jakarta, Bandung,
dan Surabaya). Estimasi jumlah waria di Indonesia adalah 20.960 sampai
35.300 orang di tahun 2006.
Prevalensi HIV pada Waria di Jakarta tahun 1995-2007
Mayoritas Waria yaitu 80% di 4 kota tersebut dilaporkan menjual seks
kepada pelanggan laki-laki satu tahun terakhir. Rata-rata waria telah
melakukannya selama 9 sampai 13 tahun. Tetapi sebanyak 40-50% waria
memiliki pasangan regular namun bukan pelanggan laki-laki pembeli jasa
seks, yang mereka sebut “suami”.
Prevalensi HIV di penjara-penjara di Jakarta mulai meningkat pada
tahun 1999, dan dua tahun kemudian terjadi peningkatan tajam terutama
dikalangan IDU, mencapai 25% pada 2002. Peningkatan ini juga
mencerminkan bahwa besar kemungkinan banyak IDU yang telah terinfeksi
sebelum mereka masuk penjara. Prevalensi HIV tertinggi pada narapidana
di beberapa propinsi pada tahun 2000-2005, adalah sebagai berikut:
Prevalensi HIV pada Narapidana di Beberapa Provinsi tahun 2000-2005
Terdapat bukti bahwa penularan HIV juga terjadi di dalam penjara.
Data surveilans dari sebuah penjara di Jawa Barat telah menunjukkan
bahwa prevalensi HIV melonjak dari 1% pada 1999 menjadi 21%, kemudian
“jatuh” tajam ke 5% di tahun 2002. “Penurunan” pada 2002 ternyata
hanyalah tidak menunjukkan gambaran yang sebenarnya, meskipun
mencerminkan perubahan pada metode pengambilan sampel: hanya narapidana
yang baru masuk yang dites HIV. Ketika pada 2003 metode sampel acak
kembali digunakan hasilnya adalah tingkat prevalensi 21%. Kesenjangan
ini menunjukkan bahwa HIV ditularkan di penjara, baik melalui
penyuntikan narkoba dengan menggunakan jarum yang tercemar ataupun
melalui hubungan seks anal tanpa menggunakan pelindung antar narapidana.
Periode 2007-2013
Pada akhir tahun 2007 diperkirakan 4,9 juta orang telah terinfeksi HIV di Asia.
Dari jumlah ini, 440.000 adalah orang-orang dengan infeksi HIV baru,
dimana 300.000 sudah meninggal. Meskipun cara penularan HIV bervariasi
di Asia, epidemi umumnya didorong oleh hubungan seksual dengan pasangan
yang terinfeksi HIV dan tanpa menggunakan kondom, dan melalui jarum
suntik. Lebih dari dua dekade sejak kasus pertama HIV di Indonesia
hingga saat ini telah terdapat 3.492 orang meninggal akibat penyakit
ini. Dari 11.856 kasus yang dilaporkan pada tahun 2009, 6962 diantaranya
berusia produktif (< 30 tahun), termasuk 55 orang bayi di bawah 1
tahun. Kasus yang tinggi terkonsentrasi pada kelompok berisiko termasuk
penasun, pekerja seks dan kliennya, pria homoseksual, dan bayi yang
tertular melalui ibunya. Pada tahun 2009 diperkirakan jumlah ODHA
meningkat menjadi 333.200 orang, yang 25% diantaranya adalah perempuan.
Angka ini menunjukkan feminisasi epidemi AIDS di Indonesia.
Hasil Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) di Indonesia
pada tahun 2007 menunjukkan prevalensi HIV pada pekerja seks langsung
sebesar 10.4%, 4.6% pada pekerja seks tidak langsung, sebesar 24.4% pada
waria, 0.8% pada pelanggan wanita pekerja seks, 5.2% pada Lelaki
berhubungan Seks dengan Lelaki (LSL), dan 52.4% pada pengguna jarum
suntik. Dari Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku yang dilakukan di
Tanah Papua menegaskan bahwa prevalensi HIV di antara populasi umum usia
produktif (15 – 49 tahun) telah mencapai 2,4%.
Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia pada WPS
adalah 56% (WPSL) dan 49% (WPSTL). Prevalensi Gonore dan/atau Klamidia
rektal lebih tinggi ditemukan di waria (43%) daripada LSL (33%). Secara
keseluruhan prevalensi Gonore dan/atau Klamidia tidak mengalami
perubahan dibandingkan pada tahun 2007, termasuk di daerah yang
mendapatkan PPB.
Epidemi AIDS di Indonesia adalah salah satu yang paling cepat
berkembang di Asia. Kementrian Kesehatan (Kemenkes) memperkirakan bahwa
tanpa meningkatkan upaya pencegahan, pengobatan, perawatan dan dukungan
dari masing-masing daerah jumlah ODHA diestimasikan naik menjadi 501.400
orang pada 2014 dari 227.700 ditahun 2008.
Hasil STBP tahun 2011 menunjukan bahwa prevalensi HIV tertinggi
terdapat di kelompok penasun (36%), lalu diikuti kelompok waria, WPSL,
LSL, narapidana, WPSTL, dan pria risti. Pola tersebut hampir sama dengan
STBP 2007. Bila dibandingkan dengan 2007, prevalensi HIV di WPSL,
WPSTL, pria risti dan waria tidak mengalami perubahan. Peningkatan yang
cukup signifikan terjadi di kelompok LSL yaitu meningkat 2-3 kalinya.
Sementara itu, pada kelompok penasun mengalami penurunan sebesar 10%
(Jakarta) sampai dengan 20% (Medan). STBP 2011 melakukan pengukuran
prevalensi IMS yaitu Sifilis, Klamidia, dan Gonore. Prevalensi Sifilis
tertinggi pada kelompok Waria (25%). Dibandingkan dengan tahun 2007,
prevalensi Sifilis mengalami penurunan pada kelompok WPSL dan WPSTL (4-8
kali), kelompok waria (20%) dan pria risti (3%). Penurunan tersebut
terutama terjadi di lokasi-lokasi yang mendapatkan program Pengobatan
Presumtif Berkala (PPB). Hal yang berbeda terjadi pada kelompok LSL
dimana prevalensi Sifilis meningkat 2-5 kali dibanding tahun 2007.
Penggunaan kondom secara konsisten pada seks berisiko masih rendah.
Bila dibandingkan dengan seluruh kelompok sasaran, perilaku penggunaan
kondom secara konsisten di waria paling tinggi dibandingkan kelompok
lainnya. Bila dibandingkan dengan tahun 2007, penggunaan kondom secara
konsisten saat melakukan seks berisiko di setiap kelompok sasaran
cenderung tidak banyak mengalami perubahan, kecuali pada waria terjadi
penurunan dan pada WPSL terjadi peningkatan.
Bila dibandingkan dengan data 2007 di daerah yang sama, proporsi
kelompok sasaran selain penasun yang pernah menggunakan napza suntik
cenderung tetap. Hal tersebut harus mendapatkan perhatian karena napza
suntik dapat menjadi media penularan HIV yang efektif dan dapat
melipatgandakan risiko terkena HIV pada kelompok risiko tinggi di luar
penasun. Proporsi berbagi jarum tertinggi terdapat di Jakarta (27%) dan
terendah di Medan (7%). Perilaku berbagi jarum dipengaruhi oleh tingkat
pengetahun komprehensif tentang HIV-AIDS, dan frekuensi dikontak oleh
petugas lapangan. Bila dibandingkan dengan data tahun 2004, 2007 dan
2011 di kota yang sama, proporsi penasun yang berbagi jarum cenderung
turun.
TB merupakan infeksi oportunistik terbesar pada penderita HIV dan
AIDS, yang pada tahun 2010 diestimasikan prevalensi HIV di antara kasus
TB adalah 3,3 % dalam skala nasional. Di Papua, berdasarkan hasil survei
seroprevalensi pada tahun 2008, angka kejadian TB dari pasien ODHA
mencapai 14%.
KPAN dan Kementerian Kesehatan membuat perkiraaan dengan sistem
permodelan. Kecenderungan epidemi HIV ke depan dengan pemodelan
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penularan HIV saat ini dan
perubahannya ke depan. Proses pemodelan tersebut menggunakan data
demografi , perilaku dan epidemiologi pada populasi kunci. Dari hasil
proyeksi diperkirakan akan terjadi hal-hal berikut:
- Peningkatan prevalensi HIV pada populasi usia 15-49 tahun dari 0,21% pada tahun 2008 menjadi 0,4% di tahun 2014
- Peningkatan jumlah infeksi baru HIV pada perempuan, sehingga akan berdampak meningkatnya jumlah infeksi HIV pada anak.
- Peningkatan infeksi baru yang signifi kan pada seluruh kelompok LSL
- Perlu adanya kewaspadaan terhadap potensi meningkatnya infeksi baru pada pasangan seksual (intimate partner) dari masing-masing populasi kunci
- Peningkatan jumlah ODHA dari sekitar 404.600 pada tahun 2010 menjadi 813.720 pada tahun 2014. Peningkatan kebutuhan ART dari 50.400 pada tahun 2010 menjadi 86.800 pada tahun 2014vii. Meningkatnya jumlah ODHA yang memerlukan ART, di atas akan lebih meningkat jika ada kebijakan perubahan kriteria CD4 dalam penetapan kebutuhan ART, misalnya dari 200 menjadi 350
iDitjen PPM dan PLP Depkes RI, 1997. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan sampai dengan Desember 1997
iiDitjen PPM dan PLP Depkes RI, 1997. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan sampai dengan Desember 1997.
iiiKementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat/KPAN, 2003. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Jakarta
ivRiono, P., Jazant, S., 2004. The Current Situation of the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia. Aids Education and Prevention, 16, Supplement A, 78-90. The Guilford Press.
vBPS dan Depkes, 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia: Hasil SSP Tahun 2004-2005. BPS, Jakarta.
viDitjen PP &PL, Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
vii(Sumber: Pemodelan Matematik Epidemi HIV di Indonesia, 2008-2014, Kemkes)
sumber : www.kebijakanaidsindonesia.ne
iiDitjen PPM dan PLP Depkes RI, 1997. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dilaporkan sampai dengan Desember 1997.
iiiKementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat/KPAN, 2003. Strategi Nasional Penanggulangan HIV/AIDS 2003-2007. Jakarta
ivRiono, P., Jazant, S., 2004. The Current Situation of the HIV/AIDS Epidemic in Indonesia. Aids Education and Prevention, 16, Supplement A, 78-90. The Guilford Press.
vBPS dan Depkes, 2005. Situasi Perilaku Berisiko Tertular HIV di Indonesia: Hasil SSP Tahun 2004-2005. BPS, Jakarta.
viDitjen PP &PL, Depkes RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
vii(Sumber: Pemodelan Matematik Epidemi HIV di Indonesia, 2008-2014, Kemkes)
sumber : www.kebijakanaidsindonesia.ne
There are some natural remedies that can be used in the prevention and eliminate diabetes totally. However, the single most important aspect of a diabetes control plan is adopting a wholesome life style Inner Peace, Nutritious and Healthy Diet, and Regular Physical Exercise. A state of inner peace and self-contentment is essential to enjoying a good physical health and over all well-being. The inner peace and self contentment is a just a state of mind.People with diabetes diseases often use complementary and alternative medicine. I diagnosed diabetes in 2000. Was at work feeling unusually tired and sleepy. I borrowed a glucometer from a co-worker and tested at 760. Went immediately to my doctor and he gave me prescription like: Insulin ,Sulfonamides, but I could not get the cure rather to reduce the pain and brink back the pain again. I found a woman testimony name Comfort online how Dr Akhigbe cure her HIV and I also contacted the doctor and after I took his medication as instructed, I am now completely free from diabetes by doctor Akhigbe herbal medicine.So diabetes patients reading this testimony to contact his email drrealakhigbe@gmail.com or his Number +2348142454860 He also use his herbal herbs to diseases like:SPIDER BITE, SCHIZOPHRENIA, LUPUS,EXTERNAL INFECTION, COMMON COLD, JOINT PAIN, BODY PAIN, EPILEPSY,STROKE,TUBERCULOSIS ,STOMACH DISEASE. ECZEMA, PROGERIA, EATING DISORDER, LOWER RESPIRATORY INFECTION, DIABETICS,HERPES,HIV/AIDS, ;ALS, CANCER , MENINGITIS,HEPATITIS A AND B, THYROID, ASTHMA, HEART DISEASE, CHRONIC DISEASE. AUTISM, NAUSEA VOMITING OR DIARRHEA,KIDNEY DISEASE, WEAK ERECTION. EYE TWITCHING PAINFUL OR IRREGULAR MENSTRUATION.Dr Akhigbe is a good man and he heal any body that come to him. here is email drrealakhigbe@gmail.com and his Number +2349010754824
ReplyDelete